Penggunaan Kata Graha dan Geofrafi

Semakin enak terdengar di telinga, semakin sering kata graha digunakan orang. Gejala demikian sudah mewabah di Jakarta dan kota-kota besar lainnya sejak belasan tahun lalu. Umumnya kata graha dipakai untuk menyebut nama sebuah gedung atau bangunan megah. Ironisnya, penempatan kata graha tidak konsisten. Kadang di muka, kadang di belakang nama gedung atau bangunan tersebut.

Bina Graha dan Widya Graha, adalah contoh kata graha yang diletakkan pada bagian belakang. Graha Purna Yudha dan Graha Bhakti Budaya adalah contoh sebaliknya.

Di seluruh Indonesia pada awalnya hanya terdapat beberapa gedung atau bangunan yang menggunakan nama graha. Karena dianggap nama yang bagus maka kemudian nama graha, baik di muka maupun belakang, muncul ibarat cendawan di musim hujan. Celakanya, kata graha sudah demikian populer tanpa orang tahu apa makna kata itu sebenarnya. Parahnya lagi, banyak pihak melakukan pembenaran terhadap kesalahan yang terjadi, bukan mengoreksinya.

Graha berasal dari bahasa Sansekerta yang kemudian diserap oleh bahasa Jawa Kuno. Kata ini memiliki beberapa arti.

Arti pertama adalah gerhana, planit (yang menggenggam atau mempengaruhi nasib manusia dengan cara supernatural), nama demon atau roh jahat yang menggenggam atau menyebabkan pengaruh buruk pada tubuh dan budi manusia (menyebabkan gila, dll), dan menggenggam.

Arti kedua adalah buaya, ikan besar atau binatang laut, ikan hiu, ular, kuda nil, dll (Kamus Jawa Kuna – Indonesia, P.J. Zoetmulder, 307). Dengan demikian kata graha amat jauh sekali berhubungan dengan gedung atau bangunan. Apalagi kata graha tidak ditemukan dalam kamus-kamus bahasa Indonesia.

Kesalahan pemakaian yang sangat fatal terjadi pada kata bina graha. Pada Kamus Jawa Kuna – Indonesia tersebut ternyata tidak terdapat entry bina. Kata bina justru ditemukan pada Kamus Umum Bahasa Indonesia (W.J.S. Poerwadarminta, 141). Dinyatakan bahwa bina berasal dari bahasa Arab, berarti “bangunan”.

Dalam Kamus Jawa Kuna – Indonesia yang ada adalah bhina dan bhinna (kedengarannya tetap bina). Bhina berarti menakutkan atau mengerikan, sementara bhinna berarti belah, celah, tembus, terbagi dalam bagian-bagian, berbeda dari yang lain, terpisah, menakutkan, mengerikan, hebat, dan dahsyat (hal. 125).

Kemungkinan besar orang menggunakan kata graha dipengaruhi kata Sansekerta/Jawa Kuno, grha (dengan tanda titik di bawah huruf r). Karena kata grha sulit diucapkan, maka untuk memudahkannya orang menyisipkan huruf a di antara r dan h. Lagipula bahasa Indonesia tidak mengenal kata yang terdiri atas tiga huruf mati (konsonan) secara berurutan.

Kata grha berarti rumah, tempat tinggal, dan kediaman (Kamus Jawa Kuna – Indonesia, 309). Kata itu identik dengan kata griya (hal. 311).

Kalau bahasa Indonesia mengenal hukum DM (Diterangkan-Menerangkan), maka bahasa Sansekerta/Jawa Kuno memakai hukum MD (Menerangkan-Diterangkan). Jadi seharusnya kata grha diletakkan di belakang, bukan di depan.

Kasus kata graha harus menjadi pelajaran berharga buat kita. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang “ingin keren” tetapi tidak tahu “makna sebuah kata”.


Nama Orang

Masih ingat perkawinan kontroversi Pangeran Charles dengan Camilla Parker Bowles April 2005 lalu? Ini juga menarik dibahas. Bukan karena Pangeran Charles adalah duda keren pewaris tahta Inggris atau karena Camilla Parker Bowles adalah janda cantik yang diduga menjadi penyebab perceraian Charles dengan Diana. Bukan pula karena pesta perkawinan Charles-Camilla ditunda sehari karena bertepatan waktunya dengan pelaksanaan pemakaman Paus Yohanes Paulus II. Pembahasan akan berpokok pada nama Charles dan Camilla menurut kaidah bahasa Indonesia.

Charles merupakan tulisan asli, lalu bagaimana kita menulis dan membacanya berdasarkan kaidah bahasa Indonesia? Kalau kita menulis Kharles--karena ejaan lama ch berubah menjadi ejaan baru kh--mungkin ada benarnya. Namun sungguh canggung karena sampai saat ini tidak ada orang yang menulisnya demikian.

Kalau kita mengindonesiakan tulisan dan membacanya sekaligus Carles, ini pun sungguh merupakan kejadian yang tidak lazim. Apalagi kalau dibaca Karles.

Masalah penulisan dan pembacaan Charles, termasuk nama-nama geografi, rupanya belum mendapat perhatian serius pihak berwenang. Belum ada patokan khusus untuk menulis dan melafalkannya. Apakah sesuai dengan bahasa aslinya ataukah disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia, itulah yang perlu dipikirkan.

Sekadar gambaran, di Italia nama Charles disebut Carlo dan di Spanyol disebut Carlos, dengan catatan huruf c dibaca k. Jadi lafal Charles disesuaikan dengan lidah setempat.

Sekarang soal isterinya, Camilla. Dalam bahasa aslinya Camilla dibaca Kamilla. Begitu pun di Indonesia, terutama oleh pembaca berita. Mengapa tidak dibaca Camilla sebagaimana ejaan bahasa Indonesia, tentu ada alasan tersendiri yang kita tidak mengerti.

Ada kecenderungan semua nama orang ditulis dan dibaca sesuai ejaan aslinya. Contoh-contohnya sebagai berikut:
Karol Woytyla dibaca Karol Woitiwa (Bahasa Polandia)
Bhumibol Adulyadei dibaca Pumipong Adundet (Thailand)
Francois dibaca Fransoa (Prancis)
Heinrich dibaca Hainrik (Jerman)
(Ini menurut pendengaran penulis dari berita televisi dan radio)

Kita tampaknya belum mempunyai keberanian seperti Italia atau Spanyol yang menyebut nama orang sesuai dengan lidahnya sendiri, bukan lidah orang lain. Mungkin kita akan heran bila mereka menyebut Michael Jackson, bukan Maikel Jeksen tetapi Mika’el Jakson.

Beralih ke soal nama geografi. Sejak lama orang mengenal New Zealand sebagai Selandia Baru. Namun anehnya nama New York, New Delhi, dan nama-nama lain yang menggunakan new, belum ada terjemahannya. Bandingkan lagi dengan Spanyol yang menyebut Nueva York untuk New York.

Soal nama, ini tentu masih hangat, berbagai koran Indonesia memberitakan Joseph Ratzinger terpilih sebagai Paus baru. Beliau bergelar Benediktus XVI. Di mancanegara nama Paus baru itu ditulis bervariasi: Joseph-Josep-Josef-Josephum dan Benedetto-Benedecto-Benedicto-Benedict-Benedictus-Benedictum.

Pada kesempatan ini penulis hanya ingin menyarankan agar pihak berwenang memberikan patokan khusus soal penulisan dan pembacaan nama orang/geografi. 
(DJULIANTO SUSANTIO)
Share |

Artikel Terkait:

 
Copyright © 2011 From P-MEN

Regards for World and for Green My World

Ant Activist With Love for All